Selasa, 03 Agustus 2010

Alasan Pemindahan Ibukota Negara dari Jakarta

SALAH satu ujung polemik kemacetan di Jakarta adalah munculnya gagasan untuk memindahkan ibukota Negara. Mungkin di luar Jawa. Alasannya, Jakarta sudah tidak bisa memenuhi syarat lagi, meskipun dilakukan berbagai perbaikan. Kemacetan akan tetap mewarnai Jakarta, polusi juga juga semakin besar, disebabkan tata-ruang yang memang buruk. Jakarta bisa mengancam kualitas hidup manusia, tidak efisien, dan sejumlah alasan lain yang memang benar adanya. Lantas, sudah cukupkah semua alasan itu untuk memindahkan Ibukota Negara!
Kondisi Jakarta, memang sudah menjadi "guyonan" semua orang. Para diplomat asing di Jakarta, mempunyai "guyonan". Yang khas diplomat. Berapa lama anda di Jakarta? Baru dua tahun, jawab seorang diplomat, yang sudah beada di Jakarta selama tiga tahun? Yang bertanya tidak percaya. Yang dua tahun ada di jalan, katanya lagr. Guyonan lain adalah khas Indonesia, yang suka menyindir pemerintah. Ditengah kemacetan melayat istri Ketua Umum PP Muhammadiyah, ada sirine polisi mengawal sebuah mobil. Ini mesti menteri, kata seorang pelayat. "Seenaknya" sendiri, katanya bergumam. Pelayat lain berjalan cukup jauh, ia tidak mau turun sampai ke rumah duka.
Seandainyapun nanti ada keputusan untuk memindahkan Ibukota Negara, keputusan itu pasti masih lama. Sebab, wacana untuk memindahkan Ibukota Negara sebenarnya sudah lama. Selain tidak mudah, juga banyak pertimbangan yang harus diperhatikan. Dalam kurun waktu itu, Jakarta akan semakin macel, semakin tidak nyaman, semakin tidak efisien, dan semakin mengancam kehidupan kita semua karena polusi, menambah beban masyarakat, kemiskinan, dan lain-lainnya. Karena itu, sikap yang terbaik adalah secara maksimal mengusahakan perbaikan Jakarta. Tugas ini, khususnya berada di pundak Gubernur DKI Jakarta dan seluruh jajarannya. Tentu, pemerintah pusat, termasuk Presiden, tidak ketinggalan kita harapkan turun-tangan. Sebab, Jakarta adalah Ibukota Negara RI, dimana nama bangsa dan negara dipertaruhkan.
Sebagai warga negara yang baik, kita juga ingin ikut mengimbau, agar kita semua ikut prihatin dengan kondisi lakarta seperti itu. Mengeluh, protes ataupun menyindir boleh-boleh saja. Namun, hal itu belum cukup. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan. Yang terkecil, mengikuti peraturan dan disiplin lalu-lintas sampai bersabar ditengah kemacetan, agar kemacetan tidak semakin macet. Pejabat negara (selain Presiden dan Wakil Presiden) tidak perlu dikawal polisi. Selain untuk menumbuhkan solidaritas sosial antarsesama warga bangsa, juga untuk mengurangi kemacetan. Seandainya beliau-beliau itu ikut merasakan macetnya Jakarta, mungkin akan lebih bersungguh-sungguh melaksanakan tugasnya mengatasi kemacetan. Jalan-jalan yang rusak, transportasi umum yang buruk, dan MRT agar cepat diperbaiki dan diwujudkan. Pengaturan jalan juga tidak diserahkan pada Pak Ogah. Dampaknya, wacana memindahkan Ibukota Negara akan berhenti dan Jakarta tetap sebagai Ibukota Negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar