Selasa, 03 Agustus 2010

Bogor Siap Jadi Ibukota RI


Bandung - Fungsi DKI Jakarta menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat jasa dan perdagangan membuat kota ini semrawut. Memindahkan ibukota negara ke Jawa Barat (Jabar)? Why Not?

"Pada saat konsep megapolitan dibahas, saya pertanyakan posisi DKI Jakarta. Apakah dia mau jadi pusat pemerintahan atau jasa dan perdagangan. Jika opsi kedua dipilih, tidak ada salahnya pusat pemerintahan dipindah ke luar Jawa, Jawa, atau Jabar," ujar Gubernur Jabar Danny Setiawan di Gedung Pakuan, Jalan Otista, Bandung, Jabar, Senin (5/2/2007).

Danny menambahkan, hal ini mengaca kepada negara-negara maju di mana pusat pemerintahan dan pusat jasa serta perdagangan terpisah. Seperti di AS misalnya, di negara ini dikenal dengan Washington DC dan New York.

"Jika kondisi DKI Jakarta seperti sekarang ini, dengan kompleksitas fungsi dan permasalahannya. Terus terang, bagi kami sebagai penyangga daerah cukup kesulitan," tutur Danny.

Menurut Danny, jika wacana pemindahan ibukota ini berlanjut wilayah-wilayah di Jabar siap untuk dijadikan opsi. Hal ini disebabkan masih banyak lahan yang potensial untuk dijadikan khusus sebagai ibukota negara.

"Misalkan Bogor, lahannya masih luas. Dan tentunya kami harus siapkan lahan ribuan hektare untuk pembangunan khusus sebagai ibukota negara. Wilayah ini tidak boleh mengakomodir fungsi daerah lainnya," ujar Danny dengan mantap.

Menanggapi wacana Megapolitan disebut-sebut sebagai penyebab banjir kali di Jakarta, Danny menyatakan sejak awal pihaknya tidak menolak konsep megapolitan untuk sinergitas tata ruang kawasan imajiner megapolitan.

"Tapi bukan untuk penggabungan wilayah administratif. Itu yang kami tidak setuju," tegasnya.(ern/djo)

[Koran-Digital] Biaya Pemindahan Ibu Kota Sangat Besar

Badan Pusat Statistik (BPS) menaksir ongkos untuk pemindahan ibu kota
negara ke wilayah lain sangat besar. Lembaga ini menyarankan perlunya
dilakukan kajian mendalam jika ingin mewujudkannya. "Pindah itu
implikasinya luas," kata Kepala BPS Rusman Heriawan di Jakarta kemarin.

Rusman menyarankan agar pemerintah pusat membenahi wilayah DKI Jakarta
lebih dulu sebelum memutuskan memindahkan ibu kota. Salah satu caranya
adalah tak memusatkan pembangunan mal di Jakarta. "Banyak mal hanya akan
menarik lebih banyak pendatang," kata dia. Pusat belanja, kata

Rusman, sebaiknya didirikan di luar Jakarta, misalnya di Karawang.
Wacana pemindahan ibu kota negara mencuat karena kemacetan di DKI
Jakarta semakin menggila. Perbincangan soal pemindahan ibu kota itu
pertama bergulir di seminar yang digelar Badan Perencana Pembangunan
Nasional (Bappenas) pekan lalu.

Beberapa daerah yang dijagokan menggantikan Jakarta, antara lain, kota
di pinggir Jakarta, Palangkaraya, serta salah satu kota di Indonesia
timur. Sebagian pembicara menolak gagasan tersebut. Dewan Penasihat
Presiden Emil Salim, misalnya, menilai tata ruang Ja karta masih mampu
mendukung aktivitas skala regional dan global.

Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dalam pemerintahan Presiden
Soekarno memang pernah muncul rencana pemindahan ibu kota ke Palangkaraya.

Saat itu alasan yang dikemukakan adalah tak adanya potensi gempa di ibu
kota Provinsi Kalimantan Tengah tersebut. Tapi kini keinginan pindah
muncul lantaran dalih kemacetan lalu lintas yang parah di Jakarta.
"Serahkan saja kepada DKI Jakarta," kata dia, akhir pekan lalu.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menolak mengomentari wacana tersebut.
"Karena tugas saya di Jakarta," kata dia. Namun Wakil Gubernur Prijanto
mendukung gagasan pemindahan ibu kota.

Menurut Prijanto, hal itu akan menyelesaikan problem perkotaan sembari
meratakan pembangunan nasional. "Daerah-daerah yang tertinggal di
sejumlah wilayah akan ikut berkembang."

Ia juga tak mempersoalkan seandainya Jakarta dijadikan kota jasa dan
pusat perekonomian. Untuk kepentingan ini, kompleks perguruan tinggi
yang masih tersebar di dalam kota mesti dipindahkan ke pinggiran Jakarta.


EVANA DEWI | ROSALINA | RIKY FERDIANTO | JOBPIE S

Sumber : http://17-08-1945.blogspot.com

Presiden: Pemindahan Ibu Kota Perlu Pemikiran Matang













Metrotvnews.com, Jakarta: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai wacana pemindahan ibu kota negara perlu pemikiran yang matang dan komprehensif.


"Dengan mempertimbangkan kondisi kekinian kota Jakarta dan sederet persoalan yang dihadapi, maka Presiden menganggap diperlukan pemikiran yang matang dan komprehensif dalam mengkaji perpindahan ibukota," kata Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (3/8).

Ia mengatakan, Presiden terbuka dengan wacana perpindahan ibu kota negara dan menganggap wajar untuk mendiskusikan wacana itu dalam berbagai perspektif. Presiden menyadari beban fungsi pelayanan dan kelayakan Jakarta dirasakan semakin berat dari berbagai aspek sehingga wacana perpindahan ibu kota negara adalah sesuatu yang wajar dan terbuka dalam alam demokrasi.

Menurut dia, Presiden juga membenarkan bahwa dalam konteks sejarah, Presiden Soekarno pernah mencetuskan Palangkaraya sebagai calon ibu kota negara. Demikian pula, Presiden Soeharto pernah mewacanakan Jonggol, Jawa Barat, sebagai pusat pemerintahan baru.

"Presiden SBY sangat memahami setumpuk persoalan yang melanda wilayah Jakarta dan sekitarnya. Mulai dari kemacetan, banjir, beban penduduk, urbanisasi, kerusakan ekologis, dan potensi gempa," katanya.

Dalam mengkaji wacana perpindahan itu, Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah telah aktif mengkaji wacana pemindahan ibu kota negara.

Melalui forum "Strategic Policy Discussion" (SPD) pada 3 Maret 2010, kantor itu telah mengundang pihak Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, dan beberapa pakar pengembangan wilayah untuk menganalisis wacana perpindahan ibu kota dari berbagai perspektif.

Dalam konteks itu, Velix Wanggai menilai wacana perpindahan ibu kota negara perlu disikapi secara matang dan komprehensif, sehingga tidak gegabah dalam memindahkan hanya karena faktor kemacetan semata.

"Kita perlu melihat wacana ini sebagai upaya strategis dalam mendistribusikan pembangunan secara merata ke seluruh Indonesia," katanya.

Velix menegaskan bahwa dalam skenario pengembangan wilayah 20 tahun ke depan, Pemerintah mendorong pengembangan wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua, sambil menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di pulau Jawa-Bali.

Sedangkan dalam lima tahun ke depan, kata dia, Presiden Yudhoyono telah menekankan pendekatan kewilayahan berbasis kepulauan, menggenjot kawasan-kawasan strategis dan cepat tumbuh sebagai pusat-pusat pertumbuhan baru di luar pulau Jawa-Bali, dan terkait dengan kawasan-kawasan tertinggal dalam suatu sistem ekonomi yang terpadu.

Dalam mengurangi beban wilayah Jakarta dan juga pulau Jawa, Velix mengatakan, Presiden Yudhoyono juga memprioritaskan desentralisasi fiskal yang semakin besar dari waktu ke waktu, dan juga mengubah paradigma pembangunan yang lebih berbasis kewilayahan.

Hal itu, kata Velix, sebagai intervensi strategis dalam menyeimbangkan pembangunan antara pusat-daerah, dan antardaerah di tanah air.(Ant/BEY)

Tanggapan Gubernur DKI Jakarta mengenai Pemindahan Ibu Kota Negara
















Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, jelas langsung menolak ide itu. Foke (panggilan Fauzi Bowo) mengatakan keruwetan yang menimpa Jakarta sebetulnya bisa diatasi dengan keterlibatan aktif masyarakat dan juga kesadaran tata kelola pemerintahan yang baik dari aparat Pemprov DKI…………
Di tempat terpisah, sebelumnya mantan Gubernur DKI, Jakarta Sutiyoso juga menolak ide pemindahan ibukota. “Pemindahan ibukota memakan biaya yang mahal, seharusnya penyelesaian masalah Jakarta melibatkan semua pihak sehingga komprehensif,” kata Sutiyoso.
Sebetulnya, memasuki dasawarsa 1990an, ramai didengungkan dan direncanakan pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Jonggol di Jawa Barat. Namun hingga akhir masa pemerintahan Presiden Soeharto hingga saat ini, rencana pemindahan ibukota ke Jonggol itu hanyalah rencana.
Jauh sebelum masa Orde Baru, saat Presiden Soekarno, sekitar dekade 1960an, juga diwacanakan pemindahan ibukota negara ke Palangkaraya Kalimantan Tengah. Namun juga tidak pernah terwujud hingga saat ini.
Penetapan ibukota pemerintahan di luar Jakarta juga pernah direncanakan oleh pemerintah Hindia Belanda sebelum masa pendudukan Jepang. Saat itu Bandung disiapkan untuk menjadi pusat pemerintahan, yang ditandai dengan pemindahan pusat kemiliteran ke Cimahi.Satu-satunya peristiwa pemindahan pusat pemerintahan yang pernah terjadi adalah saat pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 1808-1811. Ia menghancurkan kastil Batavia, dinding tembok Batavia dan beberapa bangunan lainnya di kawasan tersebut. Pemerintahan kemudian dipindahkan ke kawasan yang saat ini kita kenal di seputar Lapangan Banteng dan Lapangan Monas……..
Jakarta Tenggelam - BBC
Mungkin, bila Jakarta sudah betul-betul tenggelam, maka rencana pemindahan itu niscaya akan terwujud. Ke mana? Jonggol, Palangkaraya atau ke Malang? Silakan pilih, atau buat pilihan lain…

Respon Terhadap Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara


Cucu Bung Karno Tak Setuju Ibu Kota Dipindah

[Image: 64203_megawati_soekarnoputri_dan_anaknya...00_225.jpg]

Ketua Fraksi PDI Perjuangan Puan Maharani, yang adalah cucu Bung Karno, menentang wacana pemindahan ibu kota dari Jakarta.

Sebab, menurut dia, pemilihan Jakarta sebagai pusat pemerintahan sudah diputuskan oleh Undang-Undang.

“Ya, nggak setujulah. Kan itu sudah diputuskan Undang-Undang. Kalaupun ada wacana seperti, kita lihat dulu apa sih urgensinya,” kata dia seusai menghadiri acara pelantikan walikota dan wakil walikota Solo, di Solo, Rabu, 28 Juli 2010.

Puan mengatakan tidak setuju karena menurutnya, memindahkan ibu kota bukan hanya terus pindah namanya saja . Pastinya, pemindahan Ibukota seperti ini akan menjadi hal yang sangat krusial.

“Apakan wilayah yang akan dijadikan Ibukota baru itu sudah siap. Bukan hanya dari segi ekonomi, tapi kultur dan lain-lain juga harus siap,” tegas Puan Maharani.

Puan pun berpesan apabila memang menjadi wacana harus dipertimbangkan lebih serius dan sematang-matangnya.

“Jangan sampai ke depannya merugikan masyarakat,” pintanya.

Wacana pemindahan ibu kota bukannya tanpa dasar. Jakarta dianggap sudah terlalu terbebani sebagai pusat perdagangan dan keuangan.

Belum lagi kemacetan yang makan biaya Rp17,2 triliun setiap tahun. Juga ancaman gempa bumi.

Kalimantan pun jadi pilihan. Menurut Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi Pemerintahan, Teguh Juwarno, ini bukan wacana baru.

"Itu kan gagasan sudah lama," kata Teguh kepada VIVAnews, Senin, 26 Juli 2010, "Gagasan agar Ibukota negara ditempatkan di wilayah tengah Indonesia."

Hal ini diamini Sekretaris Jenderal Gerindra, Ahmad Muzani. "Wacana pemindahan Ibukota itu sudah dari zaman Bung Karno, tapi sampai sekarang tidak terlaksana," kata Muzani.

Ide memindahkan ibu kota ke Kalimantan memang dicetuskan oleh Presiden Pertama RI, Soekarno. Bung Karno kala itu menunjuk Kota Palangkaraya sebagai calon kuat.
info

Dampak Pemindahan Ibu Kota

Biaya Pemindahan Ibu Kota Sangat Besar 

 
TEMPO/Tony Hartawan

TEMPO Interaktif, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) menaksir ongkos untuk pemindahan ibu kota negara ke wilayah lain sangat besar. Lembaga ini menyarankan perlunya dilakukan kajian mendalam jika ingin mewujudkannya. "Pindah itu implikasinya luas," kata Kepala BPS Rusman Heriawan di Jakarta kemarin.

Rusman menyarankan agar pemerintah pusat membenahi wilayah DKI Jakarta lebih dulu sebelum memutuskan memindahkan ibu kota. Salah satu caranya adalah tak memusatkan pembangunan mal di Jakarta. “Banyak mal hanya akan menarik lebih banyak pendatang,” kata dia. Pusat belanja, kata Rusman, sebaiknya didirikan di luar Jakarta, misalnya di Karawang.

Wacana pemindahan ibu kota negara mencuat karena kemacetan di DKI Jakarta semakin menggila. Perbincangan soal pemindahan ibu kota itu pertama bergulir di seminar yang digelar Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) pekan lalu.

Beberapa daerah yang dijagokan menggantikan Jakarta, antara lain, kota di pinggir Jakarta, Palangkaraya, serta salah satu kota di Indonesia timur. Sebagian pembicara menolak gagasan tersebut. Dewan Penasihat Presiden Emil Salim, misalnya, menilai tata ruang Jakarta masih mampu mendukung aktivitas skala regional dan global.

Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dalam pemerintahan Presiden Soekarno memang pernah muncul rencana pemindahan ibu kota ke Palangkaraya. Saat itu alasan yang dikemukakan adalah tak adanya potensi gempa di ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah tersebut. Tapi kini keinginan pindah muncul lantaran dalih kemacetan lalu lintas yang parah di Jakarta. “Serahkan saja kepada DKI Jakarta,” kata dia, akhir pekan lalu.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menolak mengomentari wacana tersebut. “Karena tugas saya di Jakarta," kata dia. Namun Wakil Gubernur Prijanto mendukung gagasan pemindahan ibu kota.

Menurut Prijanto, hal itu akan menyelesaikan problem perkotaan sembari meratakan pembangunan nasional. “Daerah-daerah yang tertinggal di sejumlah wilayah akan ikut berkembang.”

Ia juga tak mempersoalkan seandainya Jakarta dijadikan kota jasa dan pusat perekonomian. Untuk kepentingan ini, kompleks perguruan tinggi yang masih tersebar di dalam kota mesti dipindahkan ke pinggiran Jakarta.

l EVANA DEWI | ROSALINA | RIKY FERDIANTO | Jobpie S

Kota-kota yang Diusulkan Jadi Ibukota

Ada Palangkaraya, Banjarmasin, Pontianak, Jonggol, Karawang, dan?
 
VIVAnews - Wacana pemindahan Ibukota atau pusat pemerintahan berkembang di setiap masa pemerintahan. Sejak era Presiden Soekarno, Soeharto sampai terakhir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, wacana ini terus berkembang tanpa pernah direalisasikan.
Dalam buku berjudul ‘Soekarno & Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya’ karya Wijanarka disebutkan, dua kali Bung Karno mengunjungi Palangkaraya, Kalimantan Tengah — untuk melihat langsung potensi kota itu menjadi pusat pemerintahan.
Wacana pemindahan ibu kota Indonesia ke Kota Palangkaraya juga pernah diungkapkan Presiden pertama RI Soekarno. Saat meresmikan Palangkaraya sebagai ibu kota Provinsi Kalteng pada 1957, Soekarno ingin merancang menjadi ibu kota negara.
Palangkaraya, kota yang pernah diidamkan Bung Karno sebagai ibu kota, memiliki luas mencapai 2.678,51 km persegi. Bandingkan dengan luas Jakarya  yang 661,52 km persegi. Selain  itu, tak ada gunung api di sana. Palangkaraya juga jauh dari potensi gempa.
Sementara Teguh Juwarno, Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, kepada VIVAnews menyatakan Banjarmasin, Kalimantan Selatan, lebih cocok. Menurut politisi Partai Amanat Nasional itu, Banjarmasin lebih berada di tengah dan lebih siap infrastrukturnya dibanding Palangkaraya.
Namun kemarin, Rabu 28 Juli 2010, anggota Komisi II dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Aria Bima, menyatakan Pontianak sebagai pilihannya. “Saya sih berharap pindah ke Pontianak,” kata Bima. “Letak Pontianak itu kan pas tengah dan pusatnya Indonesia. Saya kira yang seperti sentral Jakarta dan pakubuminya, ya di Pontianak itu,” kata Aria Bima.
Namun Yayat Supriyatna, planolog dari Universitas Trisakti, Jakarta, tak setuju dengan model pemindahan ibukota. Yayat lebih mendukung model redistribusi. Beberapa instansi pemerintahan dipindahkan dari Jakarta. “Misalnya ke Jonggol, Karawang, Kalimantan,” katanya kepada VIVAnews, kemarin. Dengan begitu, kata Yayat, biaya bisa ditekan dan tujuan meredistribusi pembangunan juga tercapai.
Bagaimana dengan Anda?
• VIVAnews
Ya bagaimana dengan Anda??
Isu mengenai kepindahan ibukota sepertinya mulai diseriusi oleh kalangan atas. Banyak pula tanggapan-tanggapan positif dari pakar tata kota yang mendukung wacana ini. Sampai-sampai Menkeu siap mengucurkan berapapun dana yang dibutuhkan untuk memindahkan ibukota.
“Kalau memang dari pemerintah dimintakan, Menteri Keuangan berapa pun tentu akan menyiapkan,” katanya. ( Menkeu Agus DW Martowardojo )
sumber : politik.vivanews.com

Pro dan Kontra mengenai Pemindahan Ibu Kota Negara

 PRO

Jakarta sudah tidak layak

 










Narasumber : Marzuki Alie, Ketua DPR 

Saya setuju dengan ide pemindahan Ibukota Indonesia ke kota lain. Jakarta sudah tak layak menjadi pusat pemerintahan. Bagus juga kalau dipindah. Jakarta mau diapakan juga, diputar-putar tata ruangnya begini-begini juga (macet).

Penduduk di Jakarta terus menerus bertambah, sedangkan di daerah tidak. Akhirnya, kondisinya pun ruwet dengan kemacetan. Pemindahan Ibukota dari Jakarta akan mengefesiensikan segala hal mulai waktu hingga dana. Wacana ini (pemindahan Ibukota) sebenarnya saya yang pertama kali melontarkan. Karena itu, saya menyarankan agar Ibukota Indonesia dipindahkan ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Dengan cara itu pembangunan pun merata. Dari timur ke tengah, dari barat ke tengah.

Meski demikian, hingga saat ini belum ada pembicaraan serius di DPR terkait rencana pemindahan Ibukota. Dewan hanya bisa mendorong melalui undang-undang dan anggaran. Pemerintah pasti mampu membiayainya lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebab, perencanaannya bisa dilakukan lima tahun dari sekarang. Soal bekas-bekas bangunan pemerintahan seperti istana negara, gedung parlemen menjadi pusat sejarah sejenis musium dan tujuan wisata. Tapi saya optimis proses pemindahan Ibukota ini bisa diselesaikan hingga lima tahun.(Metrotvnews.com)


KONTRA

Ibukota dipindahkan hanya akan memindahkan kemacetan











Narasumber : Jusuf Kalla, Mantan Wapres

Saya tidak setuju wacana pemindahan Ibukota negara Jakarta ke Kalimantan karena biaya akan sangat mahal dan hal itu tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi justru hanya memindahkan kemacetan.

Tidak perlulah Ibukota dipindahkan. Itu hanya akan memindahkan kemacetan. Sebelumnya, ada usulan pemindahan ibukota Jakarta ke wilayah Kalimantan akibat kemacetan yang luar biasa. Padahal, pemindahan Ibukota ke tempat lain biayanya akan sangat besar. Inti masalahnya sebenarnya karena kemacetan, nah itu (kemacetan) saja yang diselesaikan.

Kan untuk membangun infrastruktur baru serta membangun perumahan jika Ibukota dipindahkan akan menghabis dana yang tidak sedikit. Selain itu, jika dalam waktu bersamaan orang pindah ke suatu tempat maka bisa dipastikan akan menimbulkan kemacetan baru. Artinya, justru hanya akan memindahkan kemacetan ke tempat lain.

Menurut saya, untuk menyelesaikan kemacetan di Jakarta ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Pertama, memperbanyak armada busway agar mampu menampung penumpang lebih banyak. Kedua, pembangunan MRT seperti kereta monorel sehingga bisa mengangkut lebih banyak penumpang. Setelah itu dilakukan pembatasan-pembatasan.

Karena itu, saya tidak setuju jika kendaraan bermotor akan dilakukan pembatasan. Selama transportasi publik belum dibenahi maka masyarakat tidak bisa disalahkan jika memilih menggunakan kendaraan motor. Sebenarnya bukan kemauan masyarakat untuk menggunakan motor, tetapi karena tidak ada alternatif lain. Kalau dilarang, apa mau mereka tidak datang bekerja? (Antara)

Alasan Pemindahan Ibukota Negara dari Jakarta

SALAH satu ujung polemik kemacetan di Jakarta adalah munculnya gagasan untuk memindahkan ibukota Negara. Mungkin di luar Jawa. Alasannya, Jakarta sudah tidak bisa memenuhi syarat lagi, meskipun dilakukan berbagai perbaikan. Kemacetan akan tetap mewarnai Jakarta, polusi juga juga semakin besar, disebabkan tata-ruang yang memang buruk. Jakarta bisa mengancam kualitas hidup manusia, tidak efisien, dan sejumlah alasan lain yang memang benar adanya. Lantas, sudah cukupkah semua alasan itu untuk memindahkan Ibukota Negara!
Kondisi Jakarta, memang sudah menjadi "guyonan" semua orang. Para diplomat asing di Jakarta, mempunyai "guyonan". Yang khas diplomat. Berapa lama anda di Jakarta? Baru dua tahun, jawab seorang diplomat, yang sudah beada di Jakarta selama tiga tahun? Yang bertanya tidak percaya. Yang dua tahun ada di jalan, katanya lagr. Guyonan lain adalah khas Indonesia, yang suka menyindir pemerintah. Ditengah kemacetan melayat istri Ketua Umum PP Muhammadiyah, ada sirine polisi mengawal sebuah mobil. Ini mesti menteri, kata seorang pelayat. "Seenaknya" sendiri, katanya bergumam. Pelayat lain berjalan cukup jauh, ia tidak mau turun sampai ke rumah duka.
Seandainyapun nanti ada keputusan untuk memindahkan Ibukota Negara, keputusan itu pasti masih lama. Sebab, wacana untuk memindahkan Ibukota Negara sebenarnya sudah lama. Selain tidak mudah, juga banyak pertimbangan yang harus diperhatikan. Dalam kurun waktu itu, Jakarta akan semakin macel, semakin tidak nyaman, semakin tidak efisien, dan semakin mengancam kehidupan kita semua karena polusi, menambah beban masyarakat, kemiskinan, dan lain-lainnya. Karena itu, sikap yang terbaik adalah secara maksimal mengusahakan perbaikan Jakarta. Tugas ini, khususnya berada di pundak Gubernur DKI Jakarta dan seluruh jajarannya. Tentu, pemerintah pusat, termasuk Presiden, tidak ketinggalan kita harapkan turun-tangan. Sebab, Jakarta adalah Ibukota Negara RI, dimana nama bangsa dan negara dipertaruhkan.
Sebagai warga negara yang baik, kita juga ingin ikut mengimbau, agar kita semua ikut prihatin dengan kondisi lakarta seperti itu. Mengeluh, protes ataupun menyindir boleh-boleh saja. Namun, hal itu belum cukup. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan. Yang terkecil, mengikuti peraturan dan disiplin lalu-lintas sampai bersabar ditengah kemacetan, agar kemacetan tidak semakin macet. Pejabat negara (selain Presiden dan Wakil Presiden) tidak perlu dikawal polisi. Selain untuk menumbuhkan solidaritas sosial antarsesama warga bangsa, juga untuk mengurangi kemacetan. Seandainya beliau-beliau itu ikut merasakan macetnya Jakarta, mungkin akan lebih bersungguh-sungguh melaksanakan tugasnya mengatasi kemacetan. Jalan-jalan yang rusak, transportasi umum yang buruk, dan MRT agar cepat diperbaiki dan diwujudkan. Pengaturan jalan juga tidak diserahkan pada Pak Ogah. Dampaknya, wacana memindahkan Ibukota Negara akan berhenti dan Jakarta tetap sebagai Ibukota Negara.

Rencana Pemindahan Ibukota Negara Indonesia dari Jakarta

SBY tengah memikirkan lokasi baru pusat pemerintahan. Kalau seperti Malaysia itu tanggung dan tidak sepenuh hati. Cuma 40 km. Sehingga sebagian tidak pindah rumah dan akhirnya jadi jauh dan macet.

Harusnya seperti Brazil yang memindahkan ibukotanya begitu jauh dari Rio de Janeiro ke Brasilia, atau Amerika Serikat dari New York ke Washington DC, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Australia dari Sidney ke Canberra, Jerman dari Bonn ke Berlin.

Karena jauh akhirnya pada pindah rumah. Kalau dekat, misalnya di Jonggol atau Sentul, niscaya orang Tangerang, Bogor, Jakarta, Bekasi, Depok tetap tinggal di rumahnya dan berkantor di ibukota baru. Jalan jauh dan kemacetan pun terus berlangsung.

Pemindahan Ibukota Negara Indonesia dari Jakarta

Pertama-tama kita harus sadar bahwa pemindahan ibukota dari satu kota ke kota lain adalah hal yang biasa dan pernah dilakukan. Sebagai contoh, Amerika Serikat pernah memindahkan ibukota mereka dari New York ke Washington DC, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Australia dari Sidney ke Canberra, Jerman dari Bonn ke Berlin, sementara Brazil memindahkan ibukotanya dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Indonesia sendiri pernah memindahkan ibukotanya dari Jakarta ke Yogyakarta.

Over Populasi (Jumlah penduduk melebihi daya tampung) merupakan penyebab utama kenapa banyak negara memindahkan ibukotanya. Sebagai contoh saat ini Jepang dan Korea Selatan tengah merencanakan pemindahan ibukota negara mereka. Jepang ingin memindahkan ibukotanya karena wilayah Tokyo Megapolitan jumlah penduduknya sudah terlampau besar yaitu: 33 juta jiwa. Korsel pun begitu karena wilayah kota Seoul dan sekitarnya jumlah penduduknya sudah mencapai 22 juta. Bekas ibukota AS, New York dan sekitarnya total penduduknya mencapai 22 juta jiwa. Jakarta sendiri menurut mantan Gubernur DKI, Ali Sadikin, dirancang Belanda untuk menampung 800.000 penduduk. Namun ternyata di saat Ali menjabat Gubernur jumlahnya membengkak jadi 3,5 juta dan sekarang membengkak lagi hingga daerah Metropolitan Jakarta yang meliputi Jabodetabek mencapai total 23 juta jiwa.



Jadi pemindahan ibukota bukanlah hal yang tabu dan sulit. Soeharto sendiri sebelum lengser sempat merencanakan pemindahan ibukota Jakarta ke Jonggol.

Kenapa kita harus memindahkan ibukota dari Jakarta? Apa tidak repot? Apa biayanya tidak terlalu besar? Jawaban dari pertanyaan ini harus benar-benar tepat dan beralasan. Jika tidak, hanya buang-buang waktu, tenaga, dan biaya.

Pertama kita harus sadar bahwa ibukota Jakarta di mana lebih dari 80% uang yang ada di Indonesia beredar di sini merupakan magnet yang menarik penduduk seluruh dari Indonesia untuk mencari uang di Jakarta. Arus urbanisasi dari daerah ke Jakarta begitu tinggi. Akibatnya jika penduduk Jakarta pada zaman Ali Sadikin tahun 1975-an hanya sekitar 3,5 juta jiwa, saat ini jumlahnya sekitar 10 juta jiwa. Pada hari kerja dengan pekerja dari wilayah Jabotabek, penduduk Jakarta menjadi 12 juta jiwa.

Jumlah penduduk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi diperkirakan sekitar 23 juta jiwa. Padahal tahun 1986 jumlahnya hanya sekitar 14,6 juta jiwa (MS Encarta). Jika Jakarta terus dibiarkan jadi ibukota, maka jumlah ini akan terus membengkak dan membengkak. Akibatnya kemacetan semakin merajalela. Jumlah kendaraan bertambah. Asap kendaraan dan polusi meningkat sehingga udara Jakarta sudah tidak layak hirup lagi. Pohon-pohon, lapangan rumput, dan tanah serapan akan semakin berkurang diganti oleh aspal dan lantai beton perumahan, gedung perkantoran dan pabrik. Sebagai contoh berbagai hutan kota atau tanah lapang di kawasan Senayan, Kelapa Gading, Pulomas, dan sebagainya saat ini sudah menghilang diganti dengan Mall, gedung perkantoran dan perumahan.

Hal-hal di atas akan mengakibatkan:
  1. Jakarta akan jadi kota yang sangat macet
  2. Dengan banyaknya orang bekerja di Jakarta padahal rumah mereka ada di pinggiran Jabotabek, akan mengakibatkan pemborosan BBM. Paling tidak ada sekitar 6,5 milyar liter BBM dengan nilai sekitar Rp 30 trilyun yang dihabiskan oleh 2 juta pelaju ke Jakarta setiap tahun.
  3. Dengan kemacetan dan jauhnya jarak perjalanan, orang menghabiskan waktu 3 hingga 5 jam per hari hanya untuk perjalanan kerja.
  4. Stress meningkat akibat kemacetan di jalan.
  5. Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) juga meningkat karena orang berada lama di jalan dan menghisap asap knalpot kendaraan
  6. Banjir dan kekeringan akan semakin meningkat karena daerah resapan air terus berkurang.
  7. Jumlah penduduk Indonesia akan terpusat di wilayah Jabodetabek. Saat ini saja sekitar 30 juta dari 200 juta penduduk Indonesia menempati area 1500 km2 di Jabodetabek. Atau 15% penduduk menempati kurang dari 1% wilayah Indonesia.
  8. Pembangunan akan semakin tidak merata karena kegiatan pemerintahan, bisnis, seni, budaya, industri semua terpusat di Jakarta dan sekitarnya.
  9. Tingkat Kejahatan/Kriminalitas akan meningkat karena luas wilayah tidak mampu menampung penduduk yang terlampau padat.
  10. Timbul bahaya kelaparan karena over populasi dan sawah berubah jadi rumah, kantor, dan pabrik. Saat ini pulau Jawa yang merupakan pulau terpadat di dunia 7 x lipat lebih padat daripada RRC. Kepadatan penduduk di Jawa 1.007 orang/km2 sementara di RRC hanya 138 orang/km2. Tak heran di pulau Jawa banyak orang yang kelaparan dan makan nasi aking.

Untuk itu diperlukan penyebaran pusat kegiatan di berbagai kota di Indonesia. Sebagai contoh, di AS pusat pemerintahan ada di Washington DC yang jumlah penduduknya hanya 563 ribu jiwa. Sementara pusat bisnis ada di New York dengan populasi 8,1 juta. Pusat kebudayaan ada di Los Angeles dengan populasi 3,9 juta. Pusat Industri otomotif ada di Detroit dengan jumlah penduduk 911.000 jiwa.

Di AS kegiatan tersebar di beberapa kota. Tidak tertumpuk di satu kota. Sehingga pembangunan bisa lebih merata.

Indonesia juga harus begitu. Semua kegiatan jangan terpusat di Jakarta. Jika tidak, maka jumlah penduduk kota Jakarta akan terus membengkak. Dalam 10-20 tahun, Jakarta akan jadi kota yang mati/semrawut karena jumlah penduduk yang terlampau banyak (saat ini saja kemacetan sudah luar biasa).

Biarlah Jakarta cukup menjadi pusat bisnis. Untuk pusat pemerintahan, sebaiknya dipindahkan ke Kalimantan Tengah.


Kenapa Kalimantan Tengah? Kenapa tidak di Jawa, Sulawesi, atau Sumatra?



Pertama Jawa adalah pulau kecil yang sudah terlampau padat penduduknya. Luas pulau Jawa hanya 134.000 km2 sementara jumlah penduduknya sekitar 135 juta jiwa. Kepadatannya sudah mencapai lebih dari 1.000 jiwa per km2. Apalagi pulau Jawa yang subur dengan persawahan yang sudah mapan seharusnya dipertahankan tetap jadi lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan di Indonesia. Kalau dipaksakan di Jawa, maka luas sawah akan berkurang sebanyak 50.000 hektar! Produksi beras/pangan lain akan berkurang sekitar 200 ribu ton per tahun! Indonesia akan semakin kekurangan pangan karenanya. Selama ibukota tetap di Jawa, pulau Jawa akan semakin padat dan pembangunan tidak tersebar ke seluruh Indonesia. Jawa sudah kebanyakan penduduk/over-crowded!

Ada pun pulau Sumatera letaknya relatif agak di Barat. Dengan jumlah penduduk lebih dari 42 juta, pembangunan di Sumatera sudah cukup lumayan.

Sulawesi dengan luas 189.000 km2 dan jumlah penduduk sekitar 15 juta jiwa masih terlalu kecil wilayahnya. Sumatera dan Sulawesi adalah pulau yang subur dan cocok untuk pertanian. Jadi sayang jika pertumbuhan jumlah penduduk dipusatkan di situ. Belum lagi kedua wilayah ini rawan dengan gempa bumi dan tsunami.

Ada pun Kalimantan luasnya 540.000 km2 dengan jumlah penduduk hanya 12 juta jiwa. Pulau Kalimantan jauh lebih luas dibanding pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi dan jumlah penduduknya justru paling sedikit.



Di pulau Kalimantan juga tidak ada gunung berapi dan merupakan pulau yang teraman dari gempa. Sementara di pesisir Kalimantan Tengah yang berbatasan dengan Laut Jawa juga ombak relatif tenang dan aman dari Tsunami. Ini cocok untuk jadi tempat ibukota Indonesia yang baru.

Sebaliknya Jakarta begitu dekat dengan gunung Krakatau yang ledakkannya 30 ribu x bom atom Hiroshima dengan tsunami setinggi 40 meter. Efek ledakan Krakatau terasa sampai Afrika dan Australia. Sekarang gunung Krakatau yang dulu rata dengan laut telah “tumbuh” setinggi 800 meter lebih dengan kecepatan “tumbuh” sekitar 7 meter/tahun. Sebagian ahli geologi memperkirakan letusan kembali terulang antara 2015-2083. Jadi Jakarta tinggal “menunggu waktu” saja…